Oleh: Zamaahsari A. Ramzah *)
Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di situs buktidansaksi.com.
Kunjungi situs tersebut atau lanjut baca di sini.
Sumber
Gambar: Islamopoiki
|
Ibarat lokalisasi, pesantren sering dijadikan tempat untuk
menyalurkan hasrat libido santri pada santri lain. Bedanya, kalau di
lokalisasi berlaku hukum pasar, yaitu terjadi transaksi antara penjual dan
pembeli. Di pesantren kegiatan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
umumnya dilakukan di tengah malam ketika “korban” sedang tertidur lelap.
Judul : Mairil, Sepenggal
Kisah Biru di Pesantren
Penulis : Syarifuddin
Penerbit : P_Idea, Jogjakarta
Cetakan 1 : 2005
Tebal : viii + 254
Selama ini dunia pesantren dikenal sangat lekat dengan nuansa agama. Setiap
pagi, siang, sore hingga malam hari kegiatan-kegiatan yang diajarkan di
pesantren selalu berkaitan dengan (pendalaman) agama. Ngaji, tadarus, shalat
berjamaah adalah beberapa kegiatan rutin di dalamnya.
Namun, siapa yang mengira di balik kentalnya nuansa agama yang ada di
pesantren ternyata menyimpan cerita-cerita miris yang sangat bertentangan
dengan (doktrin) agama? Buku dengan judul Mairil,
Sepenggal Kisah Biru di Pesantren yang ditulis oleh Syarifuddin ini
mengungkap secara transparan perilaku-perilaku menyimpang di dunia pesantren,
terutama yang berkaitan dengan penyimpangan seksual santri.
Ibarat lokalisasi, pesantren sering dijadikan tempat untuk
menyalurkan hasrat libido santri pada santri lain. Bedanya, kalau di
lokalisasi berlaku hukum pasar, yaitu terjadi transaksi antara penjual dan
pembeli. Di pesantren kegiatan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
umumnya dilakukan di tengah malam ketika “korban” sedang tertidur lelap.
Yang lebih mencengangkan, praktik seperti ini dilakukan antarsesama jenis
kelamin (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan). Seks
antarsesama jenis kelamin inilah yang menjadi titik tekan buku ini. Di
pesantren budaya ini bukanlah hal yang tabu, bahkan sudah mentradisi secara
turun-temurun hingga kini. Sehingga sukar menghilangkan budaya itu karena sang
pelaku dalam menjalankan aksinya sangat rapi, di luar pengetahuan orang lain.
Jangankan orang lain, kadang yang menjadi korban sendiri tidak menyadari
kalau dirinya pernah dijadikan pelampiasan nafsu seks orang lain. Biasanya
korban baru menyadari kalau dirinya telah menjadi pelampiasan seksual orang
lain ketika bangun tidur. Karena hubungan seks ala pesantren bukan didasarkan
suka sama suka tetapi secara sembunyi-sembunyi, ketika korban sudah terlelap.
Budaya itu kemudian dikenal dengan istilah nyempet dan mairil.
Menurut penulis, nyempet merupakan
jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan
seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang
kepada seseorang yang sejenis (hlm. 25).
Perilaku nyempet terjadi secara
insidental dan sesaat, sedangkan mairil
relatif stabil dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dalam
hubungan seksual satu jenis kelamin.
Kondisi sosiologis dunia pesantren dengan pembinaan moral dan akhlak secara
otomatis interaksi antara santri putra dan putri begitu ketat. Keseharian
santri dalam komunitas sejenis, mulai bangun tidur, belajar, hingga tidur
kembali. Santri bisa bertemu dengan orang lain jenis ketika sedang mendapat
tamu. Itu pun jika masih ada hubungan keluarga.
Praktis, ketika ada di pesantren –terutama pesantren salaf (tradisional)–
tidak ada kesempatan untuk bertemu dan bertutur sapa dengan santri beda
kelamin.
Di samping tempat asrama putra dan putri berbeda, hukuman yang harus
dijalankan begitu berat, bisa-bisa dikeluarkan dari pesantren, jika ada santri
putra dan putri ketahuan bersama. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan
perilaku nyempet di kalangan santri
di pesantren begitu marak (hlm. 31).
Perilaku nyempet dan mairil biasanya dilakukan oleh santri tua (senior), tidak jarang pula para pengurus
atau guru muda yang belum menikah. Dari hasil penelitian penulis, kegiatan nyempet hanya terjadi ketika masih
menetap di pesantren tetapi ketika sudah lulus dari pesantren budaya seperti
itu ditinggalkan.
Terbukti, kehidupan mereka normal dan tidak ditemukan kasus mereka menjadi
homo atau lesbi. Mereka semua berkeluarga dan mempunyai anak. Karena orang yang
melakukan itu hanya iseng bukan tergolong homoseksual (bagi kaum laki-laki)
atau lesbian (bagi kaum perempuan). Mereka melakukan penyimpangan
seks itu sekadar menyalurkan libido seksualnya yang memuncak.
Umumnya yang menjadi korban nyempet
dan mairil adalah santri yang
memiliki wajah ganteng, tampan, imut, dan baby face. Hampir pasti santri (baru)
yang memiliki wajah baby face selalu
menjadi incaran dan rebutan santri-santri senior. Bahkan tidak jarang antara
santri yang satu dan santri yang lain terlibat saling jotos, adu mulut,
bertengkar (konflik) untuk mendapatkannya.
Di pesantren berlaku hukum tidak tertulis yang harus dijalankan bagi orang
yang memiliki mairil. Misalnya jika si A sudah menjadi mairil orang, maka si mairil
tersebut akan dimanja, diperhatikan, diberi uang jajan, uang makan, dicucikan
pakainnya, dan sebagainya; layaknya sepasang kekasih (pacaran). Jika si mairil dekat dengan orang lain pasti
orang yang merasa memiliki si mairil
tersebut akan cemburu berat.
Kelebihan buku ini adalah penulis mampu menceritakan pelaku nyempet dan mairil dalam suasana santai, kocak, tetapi serius. Gaya penulisanya
bertutur hampir menyerupai novel. Misalnya ketika penulis menceritakan tentang
santri bernama Subadar yang akan nyempet santri lain.
Di beranda joglo masjid tanpa penerangan lampu, Subadar sambil berpura-pura
tidur, terus merangsek mendekati santri yang masih kecil yang beberapa hari
terakhir menjadi incarannya. “Harus bisa,” gumam Subadar dalam hati.
Namun naas nasibnya kali ini, baru saja mulai angkat sarung korban,
tiba-tiba lampu beranda joglo dinyalakan petugas piket yang seketika itu
membuat Subadar terkejut bukan kepalang…
Penulis buku ini tentu paham betul tentang budaya nyempet dan mairil yang
ada di pesantren. Karena dia juga pernah mengenyam pendidikan di pesantren
Wonorejo dan Jombang, Jawa Timur.
Boleh dikatakan buku ini adalah hasil temuannya langsung saat dia hidup di
dunia pesantren selama kurang lebih enam tahun lamanya. Membaca buku ini kita
akan terkejut dan mengernyitkan dahi, “Ah yang bener aja.”
Meski peristiwa yang diceritakan dalam buku ini lebih mengandalkan improvisasi penulis, pembaca bisa melacak sendiri
bahwa peristiwa seperti ini dalam dunia pesantren, terutama saat malam
menjelang, benar adanya. Atau boleh jadi mereka yang pernah dibesarkan di
pesantren akan tersenyum kecut atau mengakui dan menyangkal peristiwa kebenaran
cerita ini.
*) Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Nurul
Jadid Paiton Probolinggo)
0 comments
Post a Comment