Serial
Rahwayana (03 –selesai)
Ilustrasi
Rahwayana
Oleh
: Ais
|
Kumbakarna tidur begitu lamanya
sampai ketika perang terakhir Rahwana melawan Rama. Semua pasukan Rahwana hampir
meninggal, baru ia dibangunkan. Cara membangunkan Kumbakarna tidak gampang. Tak
ada yang bisa membangunkan Kumbakarna. Akhirnya Rahwana sendiri yang
membangunkannya.
“Kenapa kau membangunkan aku?”
Kumbakarna bangun dengan rasa kaget sambil mengucek matanya yang masih ngantuk.
“Karena aku mau menyuruhmu perang
melawan Rama.” Jawab Rahwana penuh ketegasan.
“Hehhh
kakanda, kembalikan Sinta pada Rama!”
“Oh, tak bisa dong, kau mau atau tidak mengikuti perintahku? Kalau tidak mau
mengikuti perintahku, kau makan apa selama ini?”
Pada saat itu seluruh makanan
dimuntahkan oleh Kumbakarna.
“Ini kakak, lihatlah! Aku muntahkan,
aku gak patheken makan dan minum dari gajimu. Aku keluarkan semua nih. Tetapi aku akan tetap berperang
bukan karena mempertahankan sifatmu yang menculik istri orang. Aku akan
berperang karena aku membela negaraku, Alengkadiraja.”
Di medan perang, Kumbakarna meluapkan
segala emosi dan kekuatannya. Ia berhadapan dengan jutaan tentara kera. Salah satu adik
Rahwana yang bernama Gunawan Wibisana membelot ke pihak Rama dan mengatakan kelemahan
Kumbakarna.
“Bos, kelemahan Kumbakarna ada di
kedua tangannya.” Kata Wibisana pada Rama.
Tanpa pikir panjang, Rama memanah dua
tangan Kumbakarna. Meskipun tanpa dua tangan, kaki Kumbakarna masih bisa
menendang untuk menghantam pasukan Rama. Akhirnya kakinya dipanah juga oleh
Rama dan jadilah Kumbakarna tanpa tangan dan kaki. Merasa kesakitan, ia pun
berguling-guling di atas tanah. Itupun masih bisa membunuh ribuan kera dari
pihak Rama. Akhirnya Kumbakarna gugur sebagai Kusuma Bangsa.
Rahwana pernah bicara seperti ini, “Pelantan
Alam, jika cintaku terhadap Sinta terlarang, mengapa kau bangun megah perasaan
ini dalam sukmaku?”
Apa yang bisa saya bilang tentang Rahwana?
Ia lahir dengan muka yang sangat jelek, kepalanya sepuluh, tiap 5000 tahun ia
penggal kepalanya satu, ia ingin bunuh diri, so sad lah rasanya. Menjelang kepalanya yang terakhir dibunuh,
sekjen dewa datang.
“Hei Rahwana, jangan kamu bunuh diri,
karena dunia ini perlu baik dan buruk, dunia ini perlu siang dan malam,” Kata
sekjen dewa itu. “Ok Rahwana, kamu minta apa asal kamu jangan mati?”
“Aku minta dua permintaan. Satu,
kesaktian yang tiada tara.”
“Ok, aku kabulkan.”
Maka sejak saat itu tak ada yang bisa
menandingi Rahwana.
“Nah, dua aku minta titisan Dewi Widowati.”
Dewi Sinta yang notabene lahir dari
rahim Dewi Tari, salah satu istri Rahwana, yang kemudian ditukar oleh Wibisana
dengan Indrajit, adalah titisan Dewi Widowati. Sehingga sebenarnya secara
semesta, Sinta adalah “jatahnya” Rahwana. Sinta bagi Rahwana adalah teratai
yang berkilau di atas lumpur.
Selama 12 tahun di Taman Argasoka,
taman yang lebih indah dari surga, Sinta setiap hari siap siaga menghunus
keris. Sinta dipersilakan bunuh diri sewaktu-waktu kalau Rahwana menyentuhnya.
Tapi apa yang terjadi? Rahwana hanya datang dengan kata-kata, dengan rayuan,
terakhir dia bilang, “Sinta, tak usah kau menghunus keris dari Malihan Gunung Jatayu, karena aku hanya
menyentuhmu jika kau telah mencintaiku.”
Menjelang akhir hidupnya, Rahwana
pamit pada Sinta untuk terjun ke medan laga melawan Rama, suami Sinta.
“Heh, suamiku itu titisan Dewa Wisnu lho, ia maha pemaaf. Kamu keluar aja gih, jutaan bala tentara kera telah
mengepung istanamu, minta maaflah pada suamiku pasti kamu akan dimaafkan.” Kata
Sinta dengan gaya centil-nya.
Jawaban Rahwana, “Sinta, tak ada yang
salah di dalam cinta. Aku salah secara sosial, salah secara tatanan, karena itu
aku harus meminta maaf kepada suamimu. Aku bukan minta maaf karena aku
mencintaimu, aku minta maaf karena aku telah melarikanmu, tapi caraku minta
maaf adalah cara ksatria, yaitu dengan berperang.”
Lalu Sinta bicara, “Aduh, kamu tak
akan menang, kamu tinggal sendirian, semua prajurit dan tentaramu sudah mati.”
Di sini untuk pertama kalinya, Rahwana
marah dalam hidupnya kepada Sinta.
“Sinta, dengan segala hormat,
prajurit-prajuritku sudah mati, rakyatku sudah mati, kini kau suruh aku
menghentikan perang? Raja macam apa aku ini?”
Mendengar ucapan Rahwana, Sinta
seketika menangis.
Ketika Rahwana bersiap berangkat
perang, pundaknya dipegang untuk pertama kalinya oleh Dewi Sinta. Rahwana lalu menoleh
dan bertanya, “Apakah ini pertanda kau sudah mencintaiku Sinta?” Sinta tak
menjawab, hanya menitihkan air mata, disaksikan pohon Nagasari.
Gugur
bulan
Gugur
ke samudra
Gugur
cinta
Ke
lautan rindu
Jutaan orang menyanyikan itu.
Tetes-tetes air mata membanjiri wajah. Rahwana tewas di medan laga setelah Rama
dibantu oleh pengkhianatan Gunawan Wibisana yang kelak menjadi raja di
Alengkadiraja.
Belum genap Sinta kembali ke pangkuan
Rama, Sinta harus menerima nasib tragis. Atas terpaan gosip yang beredar, Rama
akhirnya mengasingkan Sinta ke tengah hutan. Sinta sangat kecewa dengan sikap
Rama. Padahal selama dalam tawanan Rahwana, Sinta tetap memendam kesetiaan pada
Rama.
“Kau tahu gak Rama? Aku telah setia padamu bertahun-tahun meski aku ditawan
dengan penuh kemuliaan oleh Rahwana. Sikapmu yang kalah dengan gosip membuatku
sakit, sakitnya tuh di sini.” Ungkap
Sinta sambil menunjuk bagian dadanya yang indah.
Wajar kepada dua putra Sinta yang
juga buah hati Rama, Lawa dan Kusya, Sinta berpesan agar kelak dua putranya
bisa meneladani Rahwana yang memiliki pandangan tajam terhadap fenomena alam.
Pada akhirnya, Lawa dan Kusya melakukan kudeta terhadap Rama. Lawa dan Kusya
membuat Rama tak berdaya. Sesal mendalam pun dirasakan oleh Rama. Semua sudah
terlambat.
Setelah Rahwana mengalami nasib tewas
mengenaskan, Sinta penuh tangisan di akhir hidupnya, Rama pun turut mengakhiri
hidupnya dengan tragis. This is Ramayana!
***
Kalau saya boleh menyimpulkan, satu
hal yang kuat dari cerita ini yaitu meskipun Rahwana cintanya begitu agung kepada
Sinta, namun ia tak bisa menikahinya. Kesimpulan yang semakin kuat menggumpal
di jiwa saya adalah, “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir, kita bisa
berencana menikahi siapa, tapi tak bisa kita merencanakan cinta untuk siapa.”
Sudah...
Penggemar 2NE1
0 comments
Post a Comment