Saturday 31 October 2015

Berakhir Tragis


Serial Rahwayana (03 –selesai)


Ilustrasi Rahwayana
Oleh : Ais
Berikut adalah dua sosok besar, yaitu Kumbakarna dan Rahwana. Inilah dua digdaya yang sangat disegani dari negeri yang sangat indah dan elok bernama Alengkadiraja. Kumbakarna sangat besar. Ada yang lebay sih memang cara mengungkapkan, “Besarnya sak gunung anakan.” (artinya se-anaknya gunung). Para dhalang hampir sepakat bahwa Kumbakarna adalah orang dengan tipikal militer nasionalis yaitu right or wrong is my country.

Kumbakarna tidur begitu lamanya sampai ketika perang terakhir Rahwana melawan Rama. Semua pasukan Rahwana hampir meninggal, baru ia dibangunkan. Cara membangunkan Kumbakarna tidak gampang. Tak ada yang bisa membangunkan Kumbakarna. Akhirnya Rahwana sendiri yang membangunkannya.
“Kenapa kau membangunkan aku?” Kumbakarna bangun dengan rasa kaget sambil mengucek matanya yang masih ngantuk.
“Karena aku mau menyuruhmu perang melawan Rama.” Jawab Rahwana penuh ketegasan.
Hehhh kakanda, kembalikan Sinta pada Rama!”
“Oh, tak bisa dong, kau mau atau tidak mengikuti perintahku? Kalau tidak mau mengikuti perintahku, kau makan apa selama ini?”
Pada saat itu seluruh makanan dimuntahkan oleh Kumbakarna.
“Ini kakak, lihatlah! Aku muntahkan, aku gak patheken makan dan minum dari gajimu. Aku keluarkan semua nih. Tetapi aku akan tetap berperang bukan karena mempertahankan sifatmu yang menculik istri orang. Aku akan berperang karena aku membela negaraku, Alengkadiraja.”

Di medan perang, Kumbakarna meluapkan segala emosi dan kekuatannya. Ia berhadapan dengan jutaan tentara kera. Salah satu adik Rahwana yang bernama Gunawan Wibisana membelot ke pihak Rama dan mengatakan kelemahan Kumbakarna.
“Bos, kelemahan Kumbakarna ada di kedua tangannya.” Kata Wibisana pada Rama.
Tanpa pikir panjang, Rama memanah dua tangan Kumbakarna. Meskipun tanpa dua tangan, kaki Kumbakarna masih bisa menendang untuk menghantam pasukan Rama. Akhirnya kakinya dipanah juga oleh Rama dan jadilah Kumbakarna tanpa tangan dan kaki. Merasa kesakitan, ia pun berguling-guling di atas tanah. Itupun masih bisa membunuh ribuan kera dari pihak Rama. Akhirnya Kumbakarna gugur sebagai Kusuma Bangsa.

Rahwana pernah bicara seperti ini, “Pelantan Alam, jika cintaku terhadap Sinta terlarang, mengapa kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku?”

Apa yang bisa saya bilang tentang Rahwana? Ia lahir dengan muka yang sangat jelek, kepalanya sepuluh, tiap 5000 tahun ia penggal kepalanya satu, ia ingin bunuh diri, so sad lah rasanya. Menjelang kepalanya yang terakhir dibunuh, sekjen dewa datang.
“Hei Rahwana, jangan kamu bunuh diri, karena dunia ini perlu baik dan buruk, dunia ini perlu siang dan malam,” Kata sekjen dewa itu. “Ok Rahwana, kamu minta apa asal kamu jangan mati?”
“Aku minta dua permintaan. Satu, kesaktian yang tiada tara.”
“Ok, aku kabulkan.”
Maka sejak saat itu tak ada yang bisa menandingi Rahwana.
“Nah, dua aku minta titisan Dewi Widowati.”

Dewi Sinta yang notabene lahir dari rahim Dewi Tari, salah satu istri Rahwana, yang kemudian ditukar oleh Wibisana dengan Indrajit, adalah titisan Dewi Widowati. Sehingga sebenarnya secara semesta, Sinta adalah “jatahnya” Rahwana. Sinta bagi Rahwana adalah teratai yang berkilau di atas lumpur.

Selama 12 tahun di Taman Argasoka, taman yang lebih indah dari surga, Sinta setiap hari siap siaga menghunus keris. Sinta dipersilakan bunuh diri sewaktu-waktu kalau Rahwana menyentuhnya. Tapi apa yang terjadi? Rahwana hanya datang dengan kata-kata, dengan rayuan, terakhir dia bilang, “Sinta, tak usah kau menghunus keris dari Malihan Gunung Jatayu, karena aku hanya menyentuhmu jika kau telah mencintaiku.”

Menjelang akhir hidupnya, Rahwana pamit pada Sinta untuk terjun ke medan laga melawan Rama, suami Sinta.
“Heh, suamiku itu titisan Dewa Wisnu lho, ia maha pemaaf. Kamu keluar aja gih, jutaan bala tentara kera telah mengepung istanamu, minta maaflah pada suamiku pasti kamu akan dimaafkan.” Kata Sinta dengan gaya centil-nya.
Jawaban Rahwana, “Sinta, tak ada yang salah di dalam cinta. Aku salah secara sosial, salah secara tatanan, karena itu aku harus meminta maaf kepada suamimu. Aku bukan minta maaf karena aku mencintaimu, aku minta maaf karena aku telah melarikanmu, tapi caraku minta maaf adalah cara ksatria, yaitu dengan berperang.”
Lalu Sinta bicara, “Aduh, kamu tak akan menang, kamu tinggal sendirian, semua prajurit dan tentaramu sudah mati.”
Di sini untuk pertama kalinya, Rahwana marah dalam hidupnya kepada Sinta.
“Sinta, dengan segala hormat, prajurit-prajuritku sudah mati, rakyatku sudah mati, kini kau suruh aku menghentikan perang? Raja macam apa aku ini?”
Mendengar ucapan Rahwana, Sinta seketika menangis.

Ketika Rahwana bersiap berangkat perang, pundaknya dipegang untuk pertama kalinya oleh Dewi Sinta. Rahwana lalu menoleh dan bertanya, “Apakah ini pertanda kau sudah mencintaiku Sinta?” Sinta tak menjawab, hanya menitihkan air mata, disaksikan pohon Nagasari.
Gugur bulan
Gugur ke samudra
Gugur cinta
Ke lautan rindu

Jutaan orang menyanyikan itu. Tetes-tetes air mata membanjiri wajah. Rahwana tewas di medan laga setelah Rama dibantu oleh pengkhianatan Gunawan Wibisana yang kelak menjadi raja di Alengkadiraja.

Belum genap Sinta kembali ke pangkuan Rama, Sinta harus menerima nasib tragis. Atas terpaan gosip yang beredar, Rama akhirnya mengasingkan Sinta ke tengah hutan. Sinta sangat kecewa dengan sikap Rama. Padahal selama dalam tawanan Rahwana, Sinta tetap memendam kesetiaan pada Rama.
“Kau tahu gak Rama? Aku telah setia padamu bertahun-tahun meski aku ditawan dengan penuh kemuliaan oleh Rahwana. Sikapmu yang kalah dengan gosip membuatku sakit, sakitnya tuh di sini.” Ungkap Sinta sambil menunjuk bagian dadanya yang indah.

Wajar kepada dua putra Sinta yang juga buah hati Rama, Lawa dan Kusya, Sinta berpesan agar kelak dua putranya bisa meneladani Rahwana yang memiliki pandangan tajam terhadap fenomena alam. Pada akhirnya, Lawa dan Kusya melakukan kudeta terhadap Rama. Lawa dan Kusya membuat Rama tak berdaya. Sesal mendalam pun dirasakan oleh Rama. Semua sudah terlambat.

Setelah Rahwana mengalami nasib tewas mengenaskan, Sinta penuh tangisan di akhir hidupnya, Rama pun turut mengakhiri hidupnya dengan tragis. This is Ramayana!

***

Kalau saya boleh menyimpulkan, satu hal yang kuat dari cerita ini yaitu meskipun Rahwana cintanya begitu agung kepada Sinta, namun ia tak bisa menikahinya. Kesimpulan yang semakin kuat menggumpal di jiwa saya adalah, “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir, kita bisa berencana menikahi siapa, tapi tak bisa kita merencanakan cinta untuk siapa.”

Sudah...

Penggemar 2NE1


0 comments

Post a Comment