Artikel
ini dipublikasikan sebelumnya di melela.org. Silahkan kunjungi situs tersebut
atau lanjutkan membaca ini.
Sumber foto: Facebook |
Pengalaman bertemu dengan
seseorang gay terjadi pada saat saya masih SMA di Kota Malang. Saya memiliki
sahabat baik yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yg tidak biasanya tentang
dirinya: “Saya ingin ngomong sesuatu yang mungkin membuat kamu nggak nyaman,”
ujar teman saya.
“Ngomong apa?” tanya saya.
Di situlah ia mengatakan
bahwa dirinya adalah seorang gay. Ia seorang pria yang menyukai pria lain. Saya
katakan bahwa saya tidak merasa risih. Saya nyaman dengan kondisinya dan tetap
berteman dengannya. Dalam kesehariannya, ia adalah anak yang baik. Saya pernah
membelanya di saat seorang murid di sekolah kami menghinanya dengan sebutan,
maaf, banci. Istilah ini merendahkan sekali. Saya malahan merasa risih jika
seorang yang sebenarnya baik, tetapi harus dipinggirkan oleh lingkungan
sekitarnya hanya semata-mata karena pembawaan dirinya.
Saya katakan bahwa saya
tidak merasa risih. Saya nyaman dengan kondisinya dan tetap berteman dengannya.
Saat teman saya mengatakan
identitasnya kepada saya, tidak banyak yang bisa saya katakan
kepadanya. Karena masih SMA, saya belum mengetahui tentang ilmu
kedokteran. Namun, kami tetap berteman baik. Kami tetap sering ngobrol bareng
dan terkadang ia main ke rumah saya. Persahabatan kami bisa dibilang solid.
Setelah mulai mempelajari
ilmu kedokteran, saya mendapatkan begitu banyak fakta medis mengenai Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Ternyata, kita ini semua terlahir abu-abu,
dan bukan hitam-putih. Sayangnya, lingkungan dan budaya kita tidak
diperkenalkan dengan situasi ini dengan baik.
Semenjak kecil, kita
diperkenalkan melihat hal segala sesuatu secara dua sisi, dikotomis. Ya, kalau
nggak, hitam, ya putih. Kalau nggak benar, ya salah. Kalau nggak lelaki, ya
perempuan. Padahal, segala sesuatu seharusnya dilihat dengan kacamata spektrum,
karena alam semesta ini memang abu-abu. Yang dimaksud dengan spektrum adalah
melihat adanya kategori-kategori lain di kedua ujung yang paling ekstrem.
Misalnya, jika kedua ujung ekstrem adalah hitam dan putih, di antara kedua
ujung tersebut ada yang hitam keputih-putihan alias abu-abu yg hampir hitam,
ada yang putih kehitam-hitaman alias abu-abu yang mendekati putih, ada pula
yang abu-abu di tengah-tengah.
Saya pernah membelanya di
saat seorang murid di sekolah kami menghinanya dengan sebutan, maaf, banci.
Istilah ini merendahkan sekali.
Masalahnya, ketika turun ke
masyarakat, kita hanya mengenal lelaki dan perempuan saja, terbiasa dengan
pemikiran dikotomis, sehingga kita tidak dapat menyikapi orang-orang yang
memiliki kecenderungan berada di antaranya dengan baik. Ini salah. Bayangkan
jika kita dikenalkan melihat segala sesuatunya sebagai spektrum sedari kecil,
pasti kita akan jauh lebih rileks melihat keunikan-keunikan manusia.
***
Di saat saya mulai kenal
ilmu psikiatri, ilmu kejiwaan, dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa edisi kedua tahun 1984, di situ dijelaskan bahwa gay hanyalah dianggap
penyakit kejiwaan apabila orang yang berkaitan mengalami depresi. Artinya, jika
harus ‘disembuhkan’, yang disembuhkan bukan orientasi seksualnya, melainkan
depresinya. Pedoman itu secara berkala disempurnakan sejalan dengan
perkembangan ilmiah dunia kedokteran.
Saya malahan merasa risih
jika seorang yang sebenarnya baik, tetapi harus dipinggirkan oleh lingkungan
sekitarnya hanya semata-mata karena pembawaan dirinya
Jadi, isinya akan selalu
relevan dan dapat digunakan oleh semua dokter di Indonesia dan seluruh dunia.
Kini, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa sudah memasuki edisi
keempat, dan gay, lesbian, biseksual, atau transgender sudah benar-benar bersih
dari anggapan penyakit yang harus disembuhkan. Karena memang bukan penyakit.
Tidak ada salahnya dengan manusia yang terlahir gay, lesbian, biseksual, atau
transgender. Dari kacamata dunia kedokteran, tidak ada yang harus disembuhkan
karena LGBT bukanlah penyakit. Jadi, kalau ada dokter yang masih menganggap
LGBT sebagai penyakit yang harus disembuhkan, saya bingung panduannya apa?
Bukan dokter yang bilang begitu. Sebagai dokter kita harus selalu relevan
dengan perkembangan, jangan ketinggalan jaman.
Mengapa manusia bisa
dilahirkan memiliki orientasi yang berbeda, sebagai bagian dari identitasnya?
Identitas diri manusia didasarkan pada konstelasi otaknya, atau susunan saraf
pada otaknya. Otak adalah organ pertama yang terbentuk saat manusia masih
menjadi janin. Saat otak ini mulai berkembang di dalam janin, banyak faktor
yang mempengaruhi, seperti asupan ibunya, hormon bawaan orangtua, hormon
bayinya sendiri, faktor genetik, dan sebagainya. Semua faktor-faktor ini
mempengaruhi bentuk konstelasi sirkuit-sirkuit otak janin nanti akan seperti
apa. Orang yang suka senyum memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan orang
yang gampang menangis. Dua orang kembar pun akan berbeda konstelasi otaknya.
Konstelasi otak juga menentukan orientasi seksual.
Kini, Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa sudah memasuki edisi keempat, dan gay, lesbian,
biseksual, atau transgender sudah benar-benar bersih dari anggapan penyakit
yang harus disembuhkan.
Sebenarnya, orientasi
seksual sama halnya dengan orientasi selera terhadap rasa. Ada orang yang suka
manis. Ada orang yang suka asin. Ada pula yang suka dua-duanya. Menurut ilmu
saraf, masing-masing orang memiliki konstelasi otak yang berbeda. Orang yang
suka asin, memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan orang yang suka manis.
Begitu juga dengan orientasi seksual. Seorang pria yang menyukai pria memiliki
konstelasi otak yang berbeda dengan pria yang menyukai wanita. Ini hanyalah
masalah variasi normal dari otak manusia.
Mengatakan pria yang
menyukai pria tidak normal sama saja mengatakan orang yang menyukai makanan
manis itu tidak normal. Ini, kan, nggak adil. Kenapa nggak boleh?
***
Kita harus melihat jenis
kelamin, gender, dan orientasi seksual sebagai tiga hal yang terpisah, karena
ketiga hal tersebut dikontrol oleh sirkuit otak yg berbeda.
Sebenarnya, orientasi
seksual sama halnya dengan orientasi selera terhadap rasa. Ada orang yang suka
manis. Ada orang yang suka asin.
Dengan melihat melalui
pemahaman spektrum, kita bisa mendapatkan keberadaan orang-orang yang memiliki
jenis kelamin laki-laki, bergender maskulin, tetapi orientasi seksualnya
menyukai laki-laki juga. Ada pula yg memiliki jenis kelamin laki-laki, memiliki
gender yang feminim, tetapi menyukai wanita. Jadi, kita tidak bisa mengatakan
laki-laki yang feminin pasti gay atau lelaki yang gay pasti feminin.
Dunia itu tidak dikotomis.
Misalnya, kalau jenis kelaminnya laki-laki, gendernya harus maskulin, dan harus
menyukai wanita. Manusia tidak sederhana itu. Mulailah melihat segala sesuatu
dengan kacamata spektrum. Terlahir sebagai gay, lesbian, biseksual, atau transgender
bukanlah sebuah pilihan. Ini adalah keadaan yang sudah terbentuk sejak sebelum
lahir. Dan seandainya pun itu dianggap pilihan, juga bukan masalah. Maksudnya
begini: menjadi dianggap pilihan karena tergantung dari bagaimana manusia
tersebut menyikapinya. Misalnya ada orang yang memiliki kecenderungan menyukai
lelaki dan perempuan, tetapi ia tetap memilih untuk menyukai perempuan saja
walaupun ketertarikannya terhadap laki-laki jauh lebih besar. Ini, ya, nggak
papa. Sama seperti orang bisa bermain musik gitar atau drum, ia bisa memilih
bermain gitar saja. Ya, nggak papa, kan? Pertanyaannya adalah, “Apakah ia
bahagia?”
Mengatakan pria yang
menyukai pria tidak normal sama saja mengatakan orang yang menyukai makanan
manis itu tidak normal.
Ini menjawab anggapan bahwa
seseorang yang tadinya bukan gay, tetapi bisa menjadi gay lantaran banyak
menghabiskan waktu dengan kalangan gay. Anggapan ini salah. Jika seseorang
menjadi gay, itu karena ia memang sudah punya bakat menjadi gay.
Lingkungan hanya membantu
memunculkan sosok manusia itu yang sebenarnya. Tapi kalau memang tidak memiliki
bakat gay, mau memiliki teman-teman yang semuanya gay, juga nggak mungkin
menjadi gay.
Terlahir sebagai gay,
lesbian, biseksual, atau transgender bukanlah sebuah pilihan.
Ingin menjadi gay atau
tidak, yang penting tidak ada pemaksaan di situ. Jika ada unsur pemaksaan, itu
sudah melanggar moral. Prinsip dasar moralitas adalah kita memperlakukan orang
sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Selama seseorang tidak
menggangu orang banyak, kenapa harus dipermasalahkan?
***
Ryu Hasan yang merupakan
sapaan karib Dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS adalah ahli bedah saraf.
0 comments
Post a Comment