![]() |
Beraksi Dulu, Bicara Nanti
|
Akan ada saat ketika hanya yang berbicara yang akan
didengar. Entah yang dibicarakan rasional atau tak terkait suatu permasalahan.
Setidaknya omongannya akan lebih menjadi
bahan pembicaraan publik ketimbang dengan ide
kreatif tapi tak pernah diutarakannya. Begitupun dengan media, hanya yang
tertulislah yang akan dibaca. Sekalipun hal yang ditulis dan dipublikasikan tersebut hanya akan
memancing gejolak emosi.
Permasalahan yang sering
tersorot media belakangan ini yang sungguh memancing gejolak emosi rakyat. Baik melalui media
cetak maupun elektronik gencar menyajikan berita dan opini terkait bencana asap. Asap yang berasal dari
hutan suatu provinsi di negara yang konon katanya kaya akan potensi alam maupun
tambangnya ini.
Asap yang telah merambat hingga pulau sebelah yang terpisah oleh laut menimbulkan dampak yang tak remeh bagi warga sekitar.
Bahkan asap tersebut sempat membuat negara tetangga berkicau akan hadirnya.
Hal yang sering dijadikan fokus
utama pembahasan berbagai media tanah air mengenai fenomena ini ialah seputar kekecewaan
masyarakat yang ditampakkan dengan berbagai cara. Ada yang dengan melakukan aksi demo di jalan seperti yang sering
dilakukan oleh para pelajar “aktivis”, membuat poster-poster yang bernada
ironi, membuat gambar ataupun karikatur,
bahkan sampai dengan ancaman untuk memisahkan diri dari NKRI yang semuanya
ditujukan hanya untuk kepala negara dan pemerintah.
Namun, apakah media juga ramai menyajikan berita mengenai hal bijak
yang telah dilakukan orang-orang kreatif dan inovatif dalam menyikapi masalah
asap tersebut? Seperti Prof. Wenten di Bandung dengan air-purifier-nya, atau anak-anak muda di Sekolah Relawan, Komunitas
Jumpun Pambelom, Sedekah Oksigen, BantuKorbanAsap.Org
di daerah-daerah bencana?
Di kawasan hutan Tumbang Nusa, Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah, kita bisa temukan anak-anak muda sedang sibuk membikin sumur-sumur bor.
Mereka bertekad membangun 100 titik sumur bor. Ini kumpulan anak muda yang
beragam. Ada guru, pelajar S1, S2, fasilitator
outbound, karyawan, pemilik toko outdoor,
mantan guru SLB, dan masih banyak lagi.
Gaw Bayu Gawtama-lah yang menginisiasi anak-anak muda yang tergabung dalam
Sekolah Relawan itu, bahu-membahu dengan berbagai komunitas relawan. Mereka
meyakini sumur bor di wilayah hutan sangat bermanfaat untuk mengantisipasi meluasnya kebakaran.
Mereka sedang membuat sumur-sumur bor baru di tengah hutan dan kawasan hutan
lainnya. Sumur bor inilah salah satu cara warga lokal menghadapi kebakaran
hutan.
Menjadi korban dari fenomena ini pun bukan berarti hanya
dapat diam dan berpangku tangan saja. Mereka korban asap pembakaran hutan dan
lahan lebih memilih bertindak daripada mengeluh dan menghujat. Seperti Hendra
(17) dan Daniel (15 –termuda dan pakar gambut), dua remaja kakak-beradik yang
sudah dua bulan bersama relawan lokal Jumpun Pambelom bekerja keras angkat
selang, pipa, dan mesin
untuk membuat sumur bor di hutan-hutan wilayah Kalimantan Tengah. Ada juga
Yanto, kelahiran 1995, drop out dari SMP kelas 2, karena tak ada biaya. Ia anak
Dayak yang membantu menjadi penerjemah para relawan yang datang dari berbagai
daerah.
![]() |
Daniel, Termuda, Tak Banyak Bicara |
Ada juga orang-orang yang tak terlihat di lapangan seperti
Roel Mustafa, pengusaha keturunan Betawi yang tinggal di Depok (Jabar).
Dukungannya atas tim sangat luar biasa. Waktu, tenaga, koneksi, dan juga
dananya. Ia mengantar belanja perlengkapan pemadaman, juga berbagai kebutuhan
anak-anak di lapangan, termasuk memprovokasi teman-temannya untuk mau membantu
tim.
Eko Subiyantoro, Forest
Ranger di Banjarbaru yang masih dalam proses penyembuhan pasca kecelakaan
pun ikut serta
dalam menyambungkan tim lapangan dengan pihak-pihak di Kalteng. Rumahnya menjadi
tempat transit semua relawan dan barang-barang anak-anak Sekolah Relawan dan
Sedekah Oksigen. Jika tidak dapat menyumbangkan tenaga setidaknya otak masih
mampu bekerja dengan baik dalam merumuskan gagasan mengenai berbagai solusi.
Belum lagi Hunggul Prihono, mahasiswa Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin, mantan guru SLB, rela berkubang lumpur kotor air hitam.
Sudah hampir sebulan ia bergulang di tengah hutan. Tak peduli badannya yang
kerempeng, melakukan aktivitas pemadaman dan membuat sumur bor. Ia sanggup
kerja keras memadamkan api sampai larut malam, jam 02 dini hari bahkan, selain
kepiawaiannya menggunakan drone untuk pemetaan. Dia datang menjadi relawan
setelah membaca aktivitas Sekolah Relawan di medsos. Ini menandakan beliau
adalah orang yang cerdas yang dapat memanfaatkan media sosial yang terkenal
akan dampak negatifnya dengan bijak.
Mereka adalah para relawan, mereka bergerak suka-rela, atas
dasar bantuan dari mana saja, untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan asap.
Mereka rela menyumbangkan tenaga, pikiran,, harta dan segala upaya untuk membuat sumur bor demi
menanggulangi masalah asap tersebut dengan cara menancapkan meter demi meter
pipa besi berukuran 1 inci dengan kedalaman pipa bisa mencapai 30 meter.
Pipa besi yang ditancapkan akan dihentikan ketika pipa telah
menembus lapisan pasir kasar. Lapisan pasir kasar merupakan indikator lapisan
yang banyak mengandung air. Itu kearifan lokal untuk mengetahui lapisan air di
tanah gambut.
![]() |
Melepas Lelah, Semangat Mencurah |
Kelelahan terbayarkan saat air mengucur dengan deras. Itulah
kerja keras anak-anak Sekolah Relawan, dan berbagai komunitas lainnya, untuk
mendukung perlawanan api dan asap. Inisiasi masyarakat ini layak diapresiasi.
Termasuk oleh pemerintah dan “aktivis” media
sosial. Karena keduanya sering terlihat
terlalu gemar merisak.
Cerita semacam di Kalimantan Tengah
ini mungkin
juga bisa kita temui di beberapa daerah, di Riau, Palembang, Pontianak, Papua, dan lokasi tempat
terjadinya bencana. Hanya sering kita tidak
membacanya, karena memang tidak dituliskan.
Pewarta : Amatullah
Foto : Sunardian Wirodono
Editor : Adib Rifqi Setiawan
0 comments
Post a Comment