Saturday 31 October 2015

Yang Tertulislah Yang Akan Terbaca


Beraksi Dulu, Bicara Nanti
Akan ada saat ketika hanya yang berbicara yang akan didengar. Entah yang dibicarakan rasional atau tak terkait suatu permasalahan. Setidaknya omongannya akan lebih menjadi bahan pembicaraan publik ketimbang dengan ide kreatif tapi tak pernah diutarakannya. Begitupun dengan media, hanya yang tertulislah yang akan dibaca. Sekalipun hal yang ditulis dan dipublikasikan tersebut hanya akan memancing gejolak emosi.

Permasalahan yang sering tersorot media belakangan ini yang sungguh memancing gejolak emosi rakyat. Baik melalui media cetak maupun elektronik gencar menyajikan berita dan opini terkait bencana asap. Asap yang berasal dari hutan suatu provinsi di negara yang konon katanya kaya akan potensi alam maupun tambangnya ini. Asap yang telah merambat hingga pulau sebelah yang terpisah oleh laut menimbulkan dampak yang tak remeh bagi warga sekitar. Bahkan asap tersebut sempat membuat negara tetangga berkicau akan hadirnya.

Hal yang sering dijadikan fokus utama pembahasan berbagai media tanah air mengenai fenomena ini ialah seputar kekecewaan masyarakat yang ditampakkan dengan berbagai cara. Ada yang dengan melakukan aksi demo di jalan seperti yang sering dilakukan oleh para pelajar “aktivis”, membuat poster-poster yang bernada ironi, membuat gambar ataupun karikatur, bahkan sampai dengan ancaman untuk memisahkan diri dari NKRI yang semuanya ditujukan hanya untuk kepala negara dan pemerintah.

Namun, apakah media juga ramai menyajikan berita mengenai hal bijak yang telah dilakukan orang-orang kreatif dan inovatif dalam menyikapi masalah asap tersebut? Seperti Prof. Wenten di Bandung dengan air-purifier-nya, atau anak-anak muda di Sekolah Relawan, Komunitas Jumpun Pambelom, Sedekah Oksigen, BantuKorbanAsap.Org di daerah-daerah bencana?

Di kawasan hutan Tumbang Nusa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, kita bisa temukan anak-anak muda sedang sibuk membikin sumur-sumur bor. Mereka bertekad membangun 100 titik sumur bor. Ini kumpulan anak muda yang beragam. Ada guru, pelajar S1, S2, fasilitator outbound, karyawan, pemilik toko outdoor, mantan guru SLB, dan masih banyak lagi.

Gaw Bayu Gawtama-lah yang menginisiasi anak-anak muda yang tergabung dalam Sekolah Relawan itu, bahu-membahu dengan berbagai komunitas relawan. Mereka meyakini sumur bor di wilayah hutan sangat bermanfaat untuk mengantisipasi meluasnya kebakaran. Mereka sedang membuat sumur-sumur bor baru di tengah hutan dan kawasan hutan lainnya. Sumur bor inilah salah satu cara warga lokal menghadapi kebakaran hutan.

Menjadi korban dari fenomena ini pun bukan berarti hanya dapat diam dan berpangku tangan saja. Mereka korban asap pembakaran hutan dan lahan lebih memilih bertindak daripada mengeluh dan menghujat. Seperti Hendra (17) dan Daniel (15 –termuda dan pakar gambut), dua remaja kakak-beradik yang sudah dua bulan bersama relawan lokal Jumpun Pambelom bekerja keras angkat selang, pipa, dan mesin untuk membuat sumur bor di hutan-hutan wilayah Kalimantan Tengah. Ada juga Yanto, kelahiran 1995, drop out dari SMP kelas 2, karena tak ada biaya. Ia anak Dayak yang membantu menjadi penerjemah para relawan yang datang dari berbagai daerah.


Daniel, Termuda, Tak Banyak Bicara



Ada juga orang-orang yang tak terlihat di lapangan seperti Roel Mustafa, pengusaha keturunan Betawi yang tinggal di Depok (Jabar). Dukungannya atas tim sangat luar biasa. Waktu, tenaga, koneksi, dan juga dananya. Ia mengantar belanja perlengkapan pemadaman, juga berbagai kebutuhan anak-anak di lapangan, termasuk memprovokasi teman-temannya untuk mau membantu tim.

Eko Subiyantoro, Forest Ranger di Banjarbaru yang masih dalam proses penyembuhan pasca kecelakaan pun ikut serta dalam menyambungkan tim lapangan dengan pihak-pihak di Kalteng. Rumahnya menjadi tempat transit semua relawan dan barang-barang anak-anak Sekolah Relawan dan Sedekah Oksigen. Jika tidak dapat menyumbangkan tenaga setidaknya otak masih mampu bekerja dengan baik dalam merumuskan gagasan mengenai berbagai solusi.

Belum lagi Hunggul Prihono, mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, mantan guru SLB, rela berkubang lumpur kotor air hitam. Sudah hampir sebulan ia bergulang di tengah hutan. Tak peduli badannya yang kerempeng, melakukan aktivitas pemadaman dan membuat sumur bor. Ia sanggup kerja keras memadamkan api sampai larut malam, jam 02 dini hari bahkan, selain kepiawaiannya menggunakan drone untuk pemetaan. Dia datang menjadi relawan setelah membaca aktivitas Sekolah Relawan di medsos. Ini menandakan beliau adalah orang yang cerdas yang dapat memanfaatkan media sosial yang terkenal akan dampak negatifnya dengan bijak.

Mereka adalah para relawan, mereka bergerak suka-rela, atas dasar bantuan dari mana saja, untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan asap. Mereka rela menyumbangkan tenaga, pikiran,, harta dan segala upaya untuk membuat sumur bor demi menanggulangi masalah asap tersebut dengan cara menancapkan meter demi meter pipa besi berukuran 1 inci dengan kedalaman pipa bisa mencapai 30 meter.

Pipa besi yang ditancapkan akan dihentikan ketika pipa telah menembus lapisan pasir kasar. Lapisan pasir kasar merupakan indikator lapisan yang banyak mengandung air. Itu kearifan lokal untuk mengetahui lapisan air di tanah gambut.


Melepas Lelah, Semangat Mencurah


Kelelahan terbayarkan saat air mengucur dengan deras. Itulah kerja keras anak-anak Sekolah Relawan, dan berbagai komunitas lainnya, untuk mendukung perlawanan api dan asap. Inisiasi masyarakat ini layak diapresiasi. Termasuk oleh pemerintah dan “aktivis” media sosial. Karena keduanya sering terlihat terlalu gemar merisak.

Cerita semacam di Kalimantan Tengah ini mungkin juga bisa kita temui di beberapa daerah, di Riau, Palembang, Pontianak, Papua, dan lokasi tempat terjadinya bencana. Hanya sering kita tidak membacanya, karena memang tidak dituliskan.


Pewarta : Amatullah
Foto      : Sunardian Wirodono
Editor    : Adib Rifqi Setiawan

0 comments

Post a Comment