Sumber Gambar: Twitter |
Pekan lalu istri saya
mengajak mampir ke toko obatobatan yang terletak di kawasan Jalan Solo, Yogyakarta.
Katanya membeli lem tikus.
Entah dari mana asalnya
dan di mana dilahirkan, belakangan ini di rumah saya mulai berkeliaran tikus
yang kalau malam kadang naik ke meja makan, bahkan sering melintas, seakan
menantang, jika saya sedang berdua dengan komputer. Lem tikus adalah semacam
kertas lem plastik yang bisa diletakkan di tempat tersembunyi sehingga kalau
ada tikus lewat dan menginjak kertas itu maka tikus itu takkan bisa lari,
tinggal ditangkap.
Karena agak malas untuk
masuk toko saya bilang pada istri agar tidak usah membeli lem tikus. Saya
bilang, biar saja kucing yang berpatroli mengawasi dan menangkap tikus-tikus
itu. Mendengar usul itu istri saya tertawa. ”Kucing apa? Sekarang ini kucing
takut pada tikus. Tikus sekarang besar-besar, berani menthelelengi (memelototi)
kucing,” kata istri saya. ”Hah, ngaco saja kamu,” bantah saya.
Istri saya malah semakin
konkret bercerita. Katanya, malam Jumat kemarin ada tikus besar dan gemuk
menyelinap, kemudian kucing mengejar untuk menangkapnya. Eh, tibatiba tikus
berbalik dan memelototi kucing itu. ”Tahu tidak? Kucingnya berhenti mengejar,
tak berani kepada tikus itu. Kucing itu hanya menoleh ke kanan dan ke kiri
kemudian membiarkan tikus itu pergi,” tambah istri saya. Saya tak perlu tahu,
apakah cerita itu benar atau tidak.
Yang jelas saya tertawa
geli karena ceritanya ada kucing dipelototi oleh tikus dan kucing itu takut
sehingga tak mau menerkamnya. Seperti itukah hubungan antara kucing dan tikus
sekarang? Pada hal dulu, waktu saya masih remaja, kucing dikenal sebagai
pemburu tikus yang sangat ditakuti. Dalam gambaran saya kucing itu ibarat
tentara terlatih sedangkan tikus ibarat gali atau preman terminal.
Dalam gambaran saya dulu,
kucing ibarat tentara yang bisa melakukan penembakan misterius (petrus) kepada
preman tanpa babibu , sedangkan tikus-tikus ibarat para preman yang selalu
ketakutan karena takut ditembak secara misterius oleh tentara. ”Itu sih tikus
dan kucing zaman dulu, ketika hukum-hukum di kalangan binatang masih tegak.
Sekarang ini kucing sudah pada takut kepada tikus karena tikusnya sekelas tikus
wirog, sangat besar,” kata istri saya.
Malamnya saya merenung,
mencoba membayangkan lebih jauh tentang perubahan hubungan diplomatik antara
kucing dan tikus. Tikus berani pada kucing? Kucing ketakutan karena dipelototi
tikus? Apa sebabnya? Mungkin karena tikusnya besar dan mempunyai kawan- kawan yang
besar besar juga. Mungkin tikus-tikus itu sudah mengirim atau selalu
menyediakan makanan lain yang enak kepada para kucing.
Mungkin juga ada tikus
warok yang berdandan menyerupai kucing dan berbaur di kalangan masyarakat
kucing dengan tugas menghalangi para kucing yang akan memburu tikus. Faktanya,
tikus memelototi kucing dan kucing takut atau tersipu malu pada tikus yang
mengejarnya. Tebersit di benak saya tentang tikus sebagai lambang korupsi dan
koruptornya.
Wih, benar juga. Sekarang
ini banyak masyarakat yang kecewa karena melihat banyak koruptor yang tak takut
lagi kepada penegak hukum. Sering kali aparat penegak hukum diancam oleh
koruptor, pejabat berkongkalikong dengan koruptor. Keadaan inilah yang
menyebabkan perang melawan korupsi di Indonesia tidak efektif. Para koruptor
sekarang ini bukan hanya tak terlihat takut, tetapi malah seperti menantang
aparat penegak hukum dan masyarakat.
Lihat saja, orang yang
sudah berompi oranye karena dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) masih bisa tampil arogan. Ada yang mencacipetugas, ada yang
menjitak kepala wartawan, ada yang senyum-senyum sambil melambaikan tangan.
Sungguh menjijikkan. Masyarakat sudah begitu muak terhadap para koruptor
sehingga kerap muncul celotehan spontan yang menyamakan koruptor dengan
binatang.
Dalam percakapan
seharihari di dunia penegakan hukum koruptor memang dilambangkan dengan tikus.
Selain suka mencuri makan, tikus suka menggigit dan mencuil kayu-kayu seperti
kayu lemari dan kayu meja. Lemari atau meja yang tadinya bagus menjadi cuil dan
rusak karena digeregeti tikus. Jadi, koruptor itu memang sama dengan tikus,
binatang pencuri, penyebar penyakit, dan perusak lemari, meja, baju, kertas.
Maka, lucu juga, ketika
beberapa waktu yang lalu, melalui Twitter, saya bercuit, ”Belum hilang
kekagetan atas dijadikannya seorang anggota DPR sebagai tersangka oleh KPK kini
ada lagi seorang anggota DPR yang ditangkap tangan dalam kasus korupsi.” Cuitan
saya itu langsung ada yang membalas. ”Bukan seorang anggota DPR, Pak. Tapi
seekor...”, bunyi cuitan itu. Jadi, koruptor tidak layak disebut seorang karena
seorang itu artinya manusia.
Koruptor itu layak disebut
”seekor” karena secara sosial memang disamakan dengan binatang tikus. Ada yang
bilang, kalau koruptor disamakan dengan binatang (tikus), maka kita patut
khawatir, jangan-jangan parpol-parpol kita sekarang telah menjadi semacam
tempat peternakan (binatang) koruptor. Buktinya, semua parpol yang punya wakil
di DPR sekarang ini, mempunyai atau pernah mempunyai wakilwakilnya pula di KPK
dalam kasus korupsi.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum
Konstitusi
Sumber: Koran Sindo
0 comments
Post a Comment