Serial Petruk
Mencari Jati Diri (3)
Patung Durna dan Ekalaya (Sumber: img05.deviantart.net) |
Bagaimana
bisa jagoan andalan Pandawa yang sakti mandraguna, murid terkasih Pendeta
Durna, kalah oleh seorang yang tidak terkenal?
Sepuluh
tahun sebelumnya, Ekalaya pernah datang menghadap Durna untuk diterima sebagai
murid. Durna menolak, karena Ekalaya hanyalah raja sebuah kerajaan kecil. Durna
hanya menerima murid dari kalangan kerajaan-kerajaan besar dan elit macam
Astina, Nisada tidak masuk hitungannya.
Penolakan
Durna tidak membuat Ekalaya patah semangat. Dia menyepi dan mendirikan sebuah
tenda di sebuah tempat rahasia. Di dalam tenda itu dia mengukir sebongkah kayu
menjadi patung Durna. Setiap hendak mengasah ilmu kanuragan, dia selalu
bersemedi di depan patung Durna, memohon bimbingan dari "guru"-nya. Dia bukan sekedar
murid yang hanya "menerima" tapi dia adalah murid yang
"mencari", murid yang "mencari" akan selalu lebih hebat
daripada seorang murid yang hanya "menerima". Oleh karena itu Ekalaya
jauh lebih sakti ketimbang Arjuna.
Ekalaya
menginjak dada Arjuna dan berkata "Kalau ada yang tidak menerimakan
kematian keparat ini, silahkan datang padaku." Dan kemudian dia berlalu.
Wajah
Petruk pucat pasi, tidak tahu harus berbuat apa. Dia paham betul siapa yang
bersalah. Gareng meratap dan bersiap dengan bait-bait sajak dukanya. Bagong
menangis menjerit-jerit.
Menangis
memang adalah salah satu tugas Punakawan, mereka menangis bukan karena
menangisi kepergian tuannya. Mereka menangis menyesali alasan kematian Arjuna.
Mereka malu mengetahui kelakuan tidak bermartabat tuannya.
Semar
tetap mendengkur. Petruk tahu persis bahwa bapaknya itu hanya pura-pura tidur…
Gareng
sudah mulai dengan sajaknya, "Bumi akan berduka, langit akan menangis
bertahun-tahun, mengiringi kepergian Raden Arjuna. Seluruh rakyat akan
berkabung dan meratapi pemakaman raja yang agung…"
"Tidak
ada pemakaman dan tidak ada perkabungan!!!", tiba-tiba saja Sri Kresna
sudah berdiri dihadapan Gareng dan membentak.
"Gimana toh Ndoro Kresna ini, apa jasad Den Rejuno dibiarkan dimakan anjing
hutan, kok nggak dimakamkan, pripun toh,
nganeh-anehi?" Bagong nimbrung.
"Arjuna
belum waktunya mati," Kresna berujar.
"Oooo…
jadi Yamadipati si Dewa Maut salah administrasi ya?" Bagong memang tidak
sopan.
"Perang
Baratayudha memerlukan keberadaan Arjuna. Adik iparku ini harus hidup lagi." Kresna semakin
tegas, sembari mengeluarkan pusaka Kembang Wijayakusuma untuk menghidupkan lagi
Raden Arjuna.
"Biyuh…
orang mau mati kok nggak boleh. Apa
hanya gara-gara Baratayudha trus Den Rejuno harus hidup terus? Lha kok enak?" Bagong makin tak
terkendali, "Lha apa para dewa
di Kahyangan sudah terlanjur mengeluarkan biaya yang besar untuk skenario
perang Baratayudha? Sehingga perang nggak boleh batal?"
"Kamu
bisa diam atau tidak???" Kresna membentak, wajah Bagong tetap datar dan
dingin seperti dinding candi.
"Apa
yang terjadi Kanda Prabu?" Yudistira datang dan bertanya, diikuti oleh
Bima, Nakula dan Sadewa. Lengkaplah Pandawa!!!
"Ah…
Dimas Yudistira sudah datang, aku akan menghidupkan lagi Dimas Permadi yang
baru saja dibunuh oleh penjahat Ekalaya, lalu…"
"Yang
penjahat bukan Ekalaya!!!" Petruk memotong kalimat Kresna yang belum
selesai.
"Jaga
mulutmu Petruk!!!"
"Justru
karena saya menjaga mulut, maka saya bicara yang sebenarnya!!!"
Dengkuran
Semar yang mendadak makin keras menghentikan perdebatan Kresna-Petruk.
Suasana
jadi kaku. Yudistira nampak bersedih. Bima menggeretakkan gigi tanpa
mengeluarkan satu kata pun. Bima adalah orang yang jujur, dia marah bukan
karena Arjuna terbunuh, tapi dia sangat malu mengetahui alasan mengapa adiknya menemui
ajal.
Kresna
menghampiri jasad Arjuna. Sekali usap hiduplah kembali Raden Arjuna!!!
"Terimakasih
Kakang Kresna, sekarang saya akan pergi menuntut balas", kalimat pertama
yang keluar dari mulut Arjuna membuat Petruk mendadak mual hebat.
Kresna
tersenyum, "Seribu Arjuna tak akan mampu menandingi kesaktian satu orang
Ekalaya, Dimas harus paham
hal ini."
"Kalau
begitu biarkan saya mati menebus malu, saya, Arjuna, tidak mau hidup satu atap
langit dengan Ekalaya."
"Baiklah
kalau begitu, biarkan saya yang akan menyelesaikan masalah kecil ini. Dimas
Yudistira, ajak adik-adikmu pulang ke Amarta. Gareng, Petruk, Bagong ikut aku. Eee lhadalah… Kakang Semar lha kok
malah tidur terus?"
"Hemmm…..,
Anakmas Prabu tahu persis apa yang saya lakan lakukan kalau saya tidak tidur, oaahmmmm..." Semar menjawab pertanyaan
Kresna, dan tidur lagi.
Petruk
tahu persis bahwa Kresna adalah rajanya ahli tipu muslihat, dia berusaha
menerka apa yang akan dilakukan titisan Wisnu ini.
Dan
Petruk juga gemas melihat bapaknya tidak berkomentar apa-apa. Sambil menahan
gejolak hati dia mengikuti langkah kedua saudaranya, dia bisa merasakan akan
ada kejadian yang lebih memalukan.
Ternyata
Kresna mengendap bagaikan maling, masuk kedalam tenda rahasia Ekalaya, kemudian
bersembunyi dibelakang patung Resi Durna!!! Petruk semakin mual disertai dengan
nyeri dada hebat melihat hal ini.
Ekalaya
masuk ke dalam tenda beberapa saat kemudian. Dia berlutut didepan
"guru"-nya,
semedi, menghaturkan terimakasih yang tak terhingga, karena atas restu “guru”-nya, dia memiliki
kesaktian melebihi Arjuna, murid terkasih Resi Durna, murid "guru"-nya.
"Ekalaya!
Apa yang telah kamu lakukan?" Patung Durna bersuara,"Kamu telah
membunuh muridku yang paling kusayangi!"
Ekalaya
bersujud, "Maafkan saya guru, saya membunuh Arjuna adalah sebuah kewajaran."
"Kalau
begitu, adalah sebuah kewajaran juga kalau aku sekarang marah kepadamu."
"Baiklah
Guru, jika demikian, ijinkan saya menerima kewajaran berikutnya. Kalau Guru
menginginkan nyawaku, ambil saja, saya ikhlas."
"Tidak
Ekalaya, aku tidak menghendaki nyawamu. Tapi serahkan cincin di jari manismu
itu."
Ekalaya
seratus persen sadar, bahwa cincin ampal gading yang melingkar di jari manisnya
adalah akumulasi daya kesaktian yang didapatkan selama ini. Tanpa cincin itu
dia bukan lagi Ekalaya yang sakti, dia akan menjadi manusia biasa.
Namun
Ekalaya beranggapan bahwa kesaktiannya selama ini dia dapatkan berkat bimbingan
Resi Durna. Dan karena itu Durna sangat berhak memintanya kembali. Dengan hati
yang tulus ikhlas, Ekalaya sujud semakin dalam, melepaskan dan menyerahkan
cicin itu.
Pada
saat yang bersamaan, sebilah keris melayang dari belakang patung Durna,
menembus dada kiri Ekalaya!!! Inilah saat yang kritis, detik-detik yang
merupakan batas, batas yang kabur antara duka dan bahagia seorang anak manusia.
"Keparat
kamu Durna…", Ekalaya tersungkur !!! Dia sangat kecewa atas keculasan
Durna!!! Gurunya!!! Nyawanya meninggalkan raga dengan sejuta dendam.
Dari
kejauhan, para punakawan ribut berteriak melihat kejadian ini.
Petruk
terduduk lemas dengan tatapan kosong.
"Reng…,
lihat itu… itu….!!! yang membunuh Ekalaya bukan Durna, tapi Kresna!!!"
Bagong
yang tak tahu tata krama memang seringkali memanggil orang tanpa embel-embel
penghormatan.
"Bagong
menyun, Bagong druhun!!! Meskipun mataku tidak sebesar matamu, tapi aku, Gareng,
Kakangmu ini tidak buta!!! Aku juga tahu kalau Prabu Kresna pelakunya!!! Aduh Gusti kang Moho Widhi, mengapa kau
biarkan semua ini terjadi."
Semar
mendengkur semakin keras. Ketiga anaknya hanya ribut tak berani melakukan
apa-apa, karena bapakanya juga tak melakukan apa-apa, mereka hanya menunggu
reaksi Semar.
Petruk
semakin tidak mengerti sikap bapaknya yang membiarkan semua ini terjadi. Apa
sulitnya bagi Semar untuk menghalangi keculasan Kresna?
Kesaktian
Semar tak tertandingi oleh siapapun juga. Seluruh dewa-dewa di Kahyangan maju bersama
ditambah dengan seribu Kresna pun tak akan mampu menandingi kesaktian Sang
Hyang Ismoyo ini. Tapi ternyata Semar tak kunjung melakukan sesuatu.
Hati
Petruk terguncang!!! Jiwanya terluka!!! Tanpa disadari, dia berjalan
meninggalkan kakak dan adiknya yang masih ribut, meninggalkan bapaknya yang
tetap tidur, meninggalkan tempat yang menjadi saksi bisu tragedi kehidupan.
Perasaan Petruk semakin teriris mengetahui Dewi Anggraeni yang bersedih dan berkabung sepanjang hidupnya. Dia ingin menghibur tapi tidak punya keberanian, dia malu bertatapan mata. Malu karena tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya memandang Dewi anggraeni dari kejauhan, setiap hari, setiap saat, hingga penghujung hayat Sang Dewi.
Perasaan Petruk semakin teriris mengetahui Dewi Anggraeni yang bersedih dan berkabung sepanjang hidupnya. Dia ingin menghibur tapi tidak punya keberanian, dia malu bertatapan mata. Malu karena tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya memandang Dewi anggraeni dari kejauhan, setiap hari, setiap saat, hingga penghujung hayat Sang Dewi.
Duh…
Gusti Kang Murbeng Dumadi yang
kuinginkan hanyalah cinta-Mu.
Petruk
menghela nafas panjang, mengenang semua peristiwa itu. Kemudian dia kembali
mengayunkan kapaknya membelah kayu bakar. Sambil mengalunkan tembang asmorondhono,
tembang kerinduan.
"…naliko niro ing
dalu, atiku lam-lamen siro wong ayu, nganti mati ora bakal lali, lha kae
lintange mlaku..."
Bersambung...
0 comments
Post a Comment